Lorong Penderitaan (Cerpen)



Setiap orang pasti memiliki bakat terpendam, saya yakin itu. awalnya saya juga belum tau bakat apa yang perlu saya gali lebih dalam pada diri saya, namun sekarang saya tau bahwa saya memiliki bakat terpendam yang belum terjamah yaitu menulis. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, bakat saya yang satu ini belum terlihat secara signifikan, namun setiap saya membaca cerpen maupun cerbung di majalah anak-anak, saya selalu tertarik untuk membuat cerpen lalu mengirimnya ke redaksi. namun apa daya, saat itu saya belum berani mencoba menulis dengan arti sebenarnya. okeeee gak mau bertele-tele saya disini cuman mau nge-share cerpen murni bikinan saya sendiri. Nyoba-nyoba bikin karena tuntutan tugas kuliah, ujung-ujungnya gak dikasih apresiasi, hemm yaudah mending di share disini siapa tau ada yang suka dengan cara pembawaan saya dalam menulis cerpen hehe *maklum masih amatiran
sekalian promosi saya punya akun wattpad, kali aja ada yg berminat baca tulisan amatiran saya disana bisa langsung disearch username saya @bilalevine saya gak maksa untuk di follow tapi kalo berminat  mem follow saya ya monggo dipersilahkan :)

 



Lorong Penderitaan
Karya : Meutia Nabila Hawa

Aku hampir sampai, kulangkahkan kakiku lebar-lebar agar aku bisa segera keluar dari lorong gelap ini. Seberkas cahaya mulai nampak diujung sana, menandakan bahwa sebentar lagi aku akan menemukan ujung dari lorong. Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam lorong yang lebih mirip dengan terowongan. Sepanjang lorong ini aku bisa mendengar suara-suara yang tak asing bagiku. Walaupun suaranya lirih tapi aku bisa mendengarnya, ini menandakan bahwa aku tidak terjebak dalam lorong ini. Aku yakin diujung lorong sana ada seeorang yang bisa membantuku untuk kembali pulang.
Aroma dari lorong ini juga sangat familiar oleh indera penciumanku, aroma khas cemara memenuhi rongga hidungku selama aku berjalan di lorong. Cahaya itu masih nampak di ujung sana, namun badan ku terasa sangat lelah terutama kedua kakiku yang kini mulai sulit untuk digerakkan. Kuurungkan niatku untuk melanjutkan berjalan, kusandarkan punggung di tembok lorong ini. Bisa saja kedua kakiku mati rasa jika aku tetap memaksakan untuk berjalan. Tes…tes…tes… aku mendengar suara air menetes di suatu tempat, apakah diluar sana sedang turun hujan? Suara tetesan air tersebut selalu terdengar, aku rasa mungkin di dekat lorong ini ada sumber mata air yang tak pernah kering. Aku tak peduli, yang terpenting istirahatkan badanku sejenak agar aku bisa melanjutkan berjalan menyusuri lorong ini.
Aku tak pernah tahu mengapa aku berada di dalam lorong ini, aku tak bisa mengingat alasan yang membuatku berada di dalam sini. Yang terakhir aku ingat bahwa aku bertengkar hebat oleh ibuku dan pergi menginggalkannya. Dia memaksa ku untuk segera mencari pekerjaan dan meninggalkan kebiasaanku menghambur-hamburkan uang. Aku tahu yang kulakukan salah apalagi terhadap perempuan yang telah melahirkanku, tapi aku hanya seorang pria yang ingin menikmati masa muda selagi Tuhan masih mengizinkanku untuk hidup. Setelah bertengkar dengan ibu, aku langsung mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi melesat menembus kabut malam menuju pinggiran kota dimana aku bisa mendapatkan kesenangan dunia. Terbawa rasa bersalah dan emosi yang menggebu mungkin inilah yang membawaku ke dalam lorong terkutuk ini. Mataku terasa berat, kantuk mulai menyerang. Kuputuskan untuk merebahkan tubuh ini sejenak agar bisa sedikit mengurangi rasa sakit disekujur tubuhku. Saat aku ingin memejamkan mata, tiba-tiba aku merasakan ada yang merayap di tangan kananku. Aku hanya bisa melihat samar-samar makhluk macam apa yang sedang merayapi tanganku. Seperti monster dalam film yang pernah kutonton, bentuknya seperti laba-laba raksasa dengan 6 lengan tajam yang bisa melukai siapapun. Tubuhku tak bisa digerakkan, terlalu lemas untuk menghindar dari makhluk-makhluk itu. Makhluk itu menancapkan lengannya tepat di tangan kananku, menyisakan gelenyar rasa sakit tak tertahankan. Kenapa makhluk ini menyiksaku seperti ini? Aku hanya ingin istirahat agar aku bisa segera keluar dari lorong ini. Apa ini semua ganjaran bagiku karena telah menginggalkan ibu? Penderitaanku belum usai, makhluk itu mengeluarkan lidahnya yang penuh dengan gigi taring, kemudian menyedot mulutku selama beberapa detik kemudian melepaskannya. Aku kesulitan bernafas, makhluk itu benar-benar ingin menyiksaku tanpa ampun. Makhluk-makhluk terkutuk itu mengeluarkan suara mirip manusia pada umumnya, menanyakan hari apa sekarang, jam berapa, dan sedang musim apa sekarang. Aku tak mengerti, peduli apa mereka tentang semua itu. Apakah kehidupan monster sama seperti kehidupan manusia? Ini sungguh aneh.
Tuhan, aku hanya ingin kembali kerumah, aku ingin bertemu dengan ibu. Aku tak peduli lagi dengan kesenangan dunia. Yang terpenting aku hanya ingin berada di dekat ibu. Meskipun aku ingin berteriak mengusir mereka, atau menyuruh mereka untuk meninggalkanku, aku terlalu capek, aku bahkan tak bisa mengerang apalagi berteriak. Pada suatu titik, suara tetesan air berhenti. Aku pun mulai tertidur. Aku mulai merasakan kesunyian. Namun tiba-tiba makhluk-makhluk itu menyerangku kembali, dan lebih brutal. Menancapkan lebih banyak lengannya pada tanganku, menyedot mulutku dengan lidah bergiginya, dan menjulurkan semacam tentakel pada dadaku mengirimkan rasa yang teramat sakit di sekujur tubuhku. Tolong aku! Tolong siapapun tolong aku! Lepaskan aku sekarang, tolong izinkan aku beristirahat dengan tenang dan damai. Kumohon bebaskan aku dari siksaan tak berakhir ini, entah ini halusinasi atau nyata. Aku hanya ingin semuanya berakhir.
Tes…tes…tes…
Aku mendengar suara tetesan air itu lagi, aku mencoba membuka mata dan melihat sekeliling. Ruangan yang didominasi oleh warna hijau, aroma khas cemara dan suara tetesan air. Aku berada di sudut sebuah kamar ICU rumah sakit. Ada seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang dengan penuh luka dan alat-alat penunjang hidup di tubuhnya mulai dari infus yang menancap di tangannya, alat bantu pernafasan dan semacam kabel-kabel yang menempel pada dada pria malang itu. Tepat disebelahnya orang-orang berlalu lalang mencoba melepas alat-alat tersebut dari tubuh pria itu. Pandanganku terhenti saat melihat ibu menangis di sebelah pria itu. Mengapa ibu menangis? Bahkan ibu tidak mengenal pria di sampingnya, aku mencoba menghampiri nya lebih dekat. Mencoba menyentuhnya namun tak bisa, mencoba memanggilnya namun sia-sia, mencoba meminta maaf padanya tapi dia hanya bisa menangis. Aku tak bisa menyentuh ibu dan ibu tak menggubris ku sedikit pun. Tubuhku bergetar hebat, aku merasakan bahwa ada yang tak beres. Kuberanikan melihat siapa yang terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Dadaku sesak, tubuhku lemas aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada pria yang telah meninggal tersebut. Pria itu adalah aku. Pria yang ibu tangisi adalah jasadku. Aku mulai berpikir apa hubungan ini dengan semua kejadian di lorong itu. Perlahan aku mulai mengerti bahwa, aku mengalami sebuah kecelakaan yang mengakibatkan diriku koma entah berapa lama. Lorong yang kulewati adalah sebuah pembatas antara dunia dan akhirat. Tetesan air yang selalu kudengar adalah suara infus yang menancap di tanganku. Makhluk-makhluk terkutuk yang menyiksaku adalah para dokter yang mencoba memasang alat-alat ICU penunjang hidup selama aku mengalami koma.
Aku hanya bisa terdiam, tertunduk lemas dan tersadar bahwa semuanya telah berakhir. Aku ingin mengatakan kepada ibu bahwa ia tak perlu menangis lagi karena aku telah pulang, bahwa aku menyesal atas semua perkataan dan tindakanku pada ibu. Tuhan, sampaikan permintaan maafku pada ibu dan terimakasih Tuhan, kau telah mengabulkan doaku bahwa semua penderitaan yang kualami di lorong itu telah berakhir. Ragaku telah kembali disisi ibu, namun jiwaku telah kembali pada-Mu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Laporan Keuangan

Berbagai Pertanyaan Mengenai Koperasi

Perseroan Terbatas : Organisasi Dan Transaksi Modal Saham