BAB VII MANUSIA DAN KEADILAN
NAMA : MEUTIA NABILA HAWA
KELAS : 1EA25
NPM : 14215150
TUGAS SOFTSKILL MINGGU KETUJUH
BAB
VII
MANUSIA
DAN KEADILAN
1. Makna Keadilan
Manusia sebagai makhluk
Tuhan memiliki sifat kodrat yaitu sifat kodrat perseorangan atau juga disebut
makhluk pribadi (individu) dan sifat kodrat masyarakat atau disebut makhluk
social. Ditinjau dari segi kepentingan hidupnya, manusia sebagai makhluk
pribadi mengatur hubungan nya untuk kepentingan diri sendiri, sedangkan manusia
sebagai makhluk social mengatur hubungannya antara manusai yang satudengan
manusia yang lain atau sesame manusia. Terakhir sebagai makhluk Tuhan, manusia
mengatur hubungannya dengan Tuhan. Di dalam mengatur hubungan kodrat manusia
ini perlu adanya keserasian, keseimbangan, kesesuaian ataupun kesamaan dalam
tingkah laku baik untuk kepentingan pribadi ataupun untuk kepentingan masyarakat.
Kemampuan yang demikian itu menjelma sebagai tingkah laku adil yang kemudian
menjadi tujuan umat manusia dalam mengatur kehidupannya. Oleh sebab itu tingkah
laku adil atau keadilan menjadi tumpuan harapan manusia semua orang menghendaki
keadilan.
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang
antara hak dan kewajiban. Ika kita mengakui hak hidup kita, maka kita wajib
mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Hal ini
disebabkan bahwa orang lainpun mempunyai hak hidup seperti kita. Jika kita
mengakui hak hidup orang lain, kita wajib memberikan kesempatan kepada orang
lain itu untuk mempertahankan hak hidup kita sendiri. Jadi keadilan pada
pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan
menjalankan kewajiban. Pada dasarnya hakikat dan sifat kodrat manusia
senantiasa berusaha untuk keadilan, bahkan dengan cinta kasih akan mampu
menggerakkan dan meringankan kehendak manusia untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup pihak lain. Diantara keadilan dan cinta kasih terdapat sendi pokok
tingkah laku manusia yang mewujudkan perasaan hati nurani manusia untuk
mempertimbangkan, bilamana perlu memberanikan diri ntuk mengurangi hak-haknya
sendiri. Bahkan demi keadilan dan cinta kasih, manusia rela mengurangi dan
bahkan mengorbankan hak-haknya sendiri untuk kepentingan umum atua untuk
kepentingan Negara dan bangsanya. Tingkah laku inilah yang kita namakan “rela
berkorban”. Keadilan itu sendiri tak pernah berubah makna dan prinsipnya, yang
berbah hanyalaj bagaimana cara seseorang menafsirkannya,sehingga berubah
pulalah cara pelaksanaannya. Karakteristik manusia yang berbeda-beda itu turut
mempengaruhi ujud keadilan, seingga menimbulkan perbedaan tafsir mengenai
keadilan.
Aristoteles mengatakan
bahwa keadilan adalah suatu kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan disini
diartikan sebagai titik tengah di antara kedua ujung ekstrim yang terlalu kana
dan terlalu kiri atau terlalu banyak dan terlalu sedikit dari kedua ujung
ekstrim tersebut, baik yang menyangkut dua orang maupun dua benda. Kemudian
Plato menganggap bahwa keadilan itu merupakan kewajiban tertinggi dalam
kehidupan Negara yang baik, sedangkan orang yang adil adalah orang yang mampu
mengendalikan diri, perasaannya dikendalikan oleh akal sehat.
Ditinjau dari bentuk
ataupun sifat-sifatnya, keadilan dikelompokkan menjadi 3 jenis :
1.
Keadilan legal atau keadilan moral
Plato
berpendapat bahwa keadilan dan hokum merupakan substansi rohani umum dari
masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang
adil setiap orang menjalankan pekerjaannya yang menurut sifat dasarnya paling
cocok baginya. Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi
tempat yang selaras kepada bagian yang membentuk suatu masyarakat.
2.
Keadilan Distributif
Aristoteles
berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak
sama. Dalam Negara, pejabat pemerintah harus bersikap dan bertindak adil yaitu
tidak memihak, sama hak, bersikap hokum, sah menurt hokum, layak dan wajar
secara moral, maka tidak aka nada kericuhan baik dalam siding maupun di
instansi mana saja.
3.
Keadilan Komutatif
Keadilan
ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi
Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan atas pertalian dan ketertiban
dalam masyarakat.
Keadilan dan
ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena dalam
hidupnya manusia menghadapi keadilan/ketidakadilan setiap hari. Oleh sebab itu,
keadilan dan ketidakadilan menimbulkan daya kreatifitas manusia. Pada
hakikatnya keadilan-keadilan terciptan mewujudkan masyarakat yang adil,
sejahtera dan sentosa.
2. Kejujuran dan Kebenaran
Kejujuran atau jujur
artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya apa yang
dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu
adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseoramg bersih
hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hokum. Sikap
jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan,
sedangkan keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberanian dan
ketentraman hati, serta menyucikan lagi pula membuatn luhurnya budi pekerti.
Kebenaran atau benar
dalam arti moral berarti tidak palsu tidak munafik, yakni apabila perkataannya
sesuai dengan keyakinan betinnya atau hatinya. Suatu kebenaran sejati, berlaku
bagi setiap orang yang mengetahuinya. Demikianlah kebenaran dan kejujuran yang
dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi adalah kesadaran tentang akan sama
hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap perbuatan salah atau dosa.
Berbagai macam hal yang
menyebabkan orang berbuat tidak jujur. Mungkin karena tidak rela, mungkin
karena pengaruh lingkungan, karena social ekonomi, terpaksa ingin popular,
karena sopan santun dan untuk mendidik.
Dalam kehidupan
sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat
dispisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Ketidakjujuran sangat luas
wawasannya, sesuai dengan kehidupan dan kebutuhan hidup manusia.
Untuk mempertahankan
kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun demi sopan santun dan
pendidikan, orang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai pada batas-batas
yang dapat dibenarkan.
3. Kecurangan
Kecurangan atau curang
identic dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik
meskipun tidak serupa benar. Curang artinya apa yang dikatakan tidak sesuai
dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang
dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha. Yang dimaksud
keuntungan disini adalah keuntungan yang berupa materi. Mereka yang berbuat
curang menganggap akan mendatangkan kesenangan atau keenakan, meskipun orang
lain menderita karenanya. Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah,
tamak, ingin minmbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap
sebagai orang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat di
sekelilingnya hidup menderita.
Dapat disimpulkan bahwa
:
Kecurangan dan
sifat-sifat jahat yang serupa seperti penipuan, pemalsuan, pembohongan,
perampokan dan lain-lain merupakan bagian hidup manusia. Bermacam-macam sebab
orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, ada empat aspek yakni aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek
peradaban, dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara
wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hokum.
Akan tetapi bila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri,
dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan
terjadilah kecurangan. Kecurang banyak menimbulkan daya kreatifitas bagi
seniman. Oleh karena itu, banyak hasil karya seni yang lahir dari imajinasi
kecurangan. Hasil seni itu antara lain seni tari, seni sastra, drama, film,
filsafat dan lain-lain.
4. Pemulihan Nama Baik
Nama baik merupakan
salah satu tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela.
Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika
ia menjadi teladan bagi orang disekitarnya adalah suatu kebanggan batin yang
tak ternilai harganya.
Penjagaan nama baik
erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama
baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya, yang dimaksud
dengan tingkah laku atau perbuatan itu antara laincara berbahasa, cara bergaul,
sopan-santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang
dihalalkan agama dan sebagainya.
Tingkah laku atau
perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakikatnya sesuai dengan kodrat
manusia, yaitu :
1)
Manusia menurut sifat dasarnya adalah
makhluk moral
2)
Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri
yang harus di patuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku
moral tersebut
Pada hakikatnya
pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa
apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai
akhlak.
Ada tiga macam godaan
yaitu derajat/pangkat, harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai hawa
nafsunya, maka orang akan terjerumus ke jurang kenistaan karena untuk memiliki
derajat/pangkat, harta,dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak
wajar.
Untuk memulihkan nama
baik, manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya
dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah berbuat budi darma
dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesame hidup yang oerlu
ditolong dengan penuh kasih saying, tanpa pamrih, takwa kepada Tuahn dan
mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.
5. Pembalasan
Pembalasan itu ada yang
bersifat positif da nada yang bersifat negative. Pembalasan yang bersifat
positif ialah pembalasan yang dilakukan atas dasar saling menjaga dan
menghargai hak dan kewajiban masing-masing.
Pembalasan disebabkan
adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat.
Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak
bersahabat pula. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan makhluk
social. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan
moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya.
Perbuatan amoral pada hakikatnya adalah perbuatan yang melanggar atau
memperkosa hak dan kewajiban manusia lain.
Oleh karena tiap
manusia tidak menghendaki hak dan kewajiban dilanggat atau diperkosa, maka
manusia berusaha mempertahakan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan
kewajiban itu adalah pembalasan.
SUMBER :
Joko Tri Prasetya , Drs dkk. Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 2013
Komentar
Posting Komentar